MEDIASENIOR/Jatim/SenibBudaya/22042023
------ Sejak kapan gedung Taman Budaya dibangun?
Ini pertanyaan menarik yang belum bisa dijawab. Yang
jelas, kompleks TBJT ini dahulu merupakan rumah Bupati Kanoman dan (salah satu) pusat
pemerintahan Kabupaten “Soerabaia” dalam masa penjajahan Belanda.
Kala itu, sekitar abad 17, Kadipaten Soerabaia berada di
bawah kekuasaan kerajaan Mataram di Kartosura. Bupati pertama Soerabaia adalah
Tumenggung Kyai Brondong atau Pangeran Lanang Dangiran, kemudian digantikan Tumenggung
Onggodjojo yang mempunyai dua orang putera yang sama-sama ingin menjadi Bupati.
Sebagaimana dikutip dari buku Dukut Imam Widodo, maka
Kadipaten Soerabaia dibagi menjadi dua yaitu Kadipaten
Kasepuhan dan Kadipaten
Kanoman.
Yang disebut pertama dipimpin Bupati Raden Tumenggung
Panji Condronegoro dengan istananya di sebuah bangunan yang sekarang menjadi
kantor Pos Besar Surabaya.
Sedangkan Kadipaten Kanoman dengan
bupati Raden Tumenggung Joyodirono I beristana di Gentengkali yang kemudian
menjadi Taman Budaya Jatim sekarang ini.
Pertanyaannya, apakah penetapan Kadipaten Kanoman itu
membangun gedung baru ataukah menempati sebuah bangunan yang sudah ada?
Jika kemungkinan kedua, maka berarti secara fisik gedung
itu sudah ada sebelumnya yang entah sejak tahun berapa dibangun. Tanpa
kejelasan fakta ini, belum bisa ditemukan kapan bangunan Taman Budaya yang
sekarang ini dibangun.
Sebagai referensi bahwa sampai awal tahun 1709 penguasa
tunggal kadipaten Soerabaia adalah Kyai Adipati Jangrono II yang dibunuh tahun
itu juga di Kartosura.
Pemecahan dua wilayah Surabaya menjadi Kadipaten
Kasepuhan dan Kanoman itu juga merupakan siasat Kompeni agar kekuatan Soerabaia
pecah.
Namun siasat ini gagal karena kedua bersaudara yang
memimpin kedua kadipaten itu bersatu melawan Kompeni meski dapat dipadamkan
tahun 1723.
Tetapi kekuasaan resmi kerajaan Soerabaia selama 375
tahun akhirnya berakhir setelah kekuasaan Mataram beralih ke Kompeni tahun
1743, termasuk berakhirnya era dua Kadipaten di Soerabaia itu.
Dirirlis dari laman CakDursaim.com Bangunan asli yang ditetapkan menjadi cagar budaya dan
masih bertahan hingga sekarang adalah pendopo dan gedung perkantoran di sebelah
selatan pendopo, meskipun sebetulnya juga termasuk ruang kerja Kepala UPT,
ruang bagian keuangan di sebelahnya dan sebuah ruangan di sebelah selatannya
lagi yang dipergunakan sebagai sekretariat Lembaga Javanologi Surabaya.
Kepala Taman Budaya yang pertama, Soetrisno R, pernah menempati bangunan ini sebagai rumah dinasnya.
Taman Budaya Jatim
Bagaimana nasib gedung Kadipaten Kanoman (baca: Taman
Budaya Jatim sekarang ini) selama masa penjajahan Belanda, masa Jepang dan juga
masa setelah Indonesia merdeka tentunya menarik untuk diulas tersendiri pada
kesempatan yang lain.
Yang jelas, berdasarkan surat Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Propinsi Jawa Timur No. Sek/41/1171 tanggal 13 Oktober 1973 tentang
penyerahan persil beserta gedung komplek dan Kabupaten.
Maka sebagai tindak lanjutnya pada tanggal 19 Januari
1975, dilaksanakan serah terima bangunan gedung dan perumahan tersebut dari
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Surabaya kepada kepala perwakilan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur di Surabaya. Selanjutnya dipergunakan
untuk wadah pengembangan Seni dan Budaya, dengan melalui anggaran APBN dan APBD
tahun 1974-1975. Sejak saat itu kemudian dibangun Teater Terbuka dan Gedung
Pertunjukan yang kemudian diberi nama Gedung Cak Durasim.
Secara kelembagaan, pada tanggal 20 Mei 1978 lahirlah
Taman Budaya Jawa Timur yang diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
RI Dr. Daoed Joesoef. Sebagaimana 25 Taman Budaya di seluruh Indonesia, TBJT
merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) bidang kebudayaan yang
bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Kebudayaan yang
berkedudukan di Jakarta. Tugas Taman Budaya ialah melakukan peningkatan dan
pengembangan kesenian, menyelenggarakan penyajian kesenian, melaksanakan
pendokumentasian dan penginformasian seni budaya.
Kelahiran Taman Budaya ini tidak terlepas dari kebijakan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia dalam kurun 1970an.
Direktur Jenderal Kebudayaan waktu itu, Prof. DR Ida
Bagus Mantra, menyaksikan bahwa di banyak negara lain pusat-pusat kebudayaan
dan kesenian begitu hidup dan berkembang marak.
Fasilitas yang mendukungnya sedemikian bagus seperti
gedung pertunjukan, galeri seni rupa, teater terbuka, dan ruangan lokakarya
yang sangat terpadu. Kenyataan ini mengilhami pemikiran beliau tentang
pentingnya pusat kebudayaan dan kesenian didirikan di setiap povinsi di
Indonesia. Sekurangnya pusat-pusat kebudayaan itu dapat menjadi etalase bagi
kekayaan ragam seni budaya daerah di negeri ini.
Taman Budaya
Surabaya
Taman Budaya merupakan rumah kedua bagi kreator seni
budaya, karena di tempat inilah mereka dapat melakukan proses kreatif dan
mengapresiasikan karya-karyanya. Bagi masyarakat, Taman Budaya memiliki arti
penting karena dapat memfasilitasi mereka untuk mengenal, mengerti, mencintai
dan menghargai seni budaya.
Pada mulanya TBJT bernama Taman Budaya Surabaya (TBS) dan
menjadi bagian dari Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan (Kanwil
Depdikbud), khususnya Bidang Kesenian.
Tiga belas tahun kemudian, pada 1991 Organisasi dan Tata
Kerja Taman Budaya mengalami perubahan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0221/O/1991. Selanjutnya Taman Budaya di
seluruh Indonesia ditempatkan dalam struktur Pemerintah Daerah sesuai dengan
Undang-undang Nomor 32 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000
tentang Otonomi Daerah.
Di Jawa Timur, pada mulanya Taman Budaya berada dalam
naungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Provinsi Jawa Timur yang
berkembang sebagai pusat kegiatan kesenian (Arts Center)
dengan berbagai kegiatan kesenian yang sempat fenomenal.
Beberapa event periodik yang terkenal antara lain
Festival Cak Durasim, Surabaya Full Music, Gelar Akbar Seni Rupa, Festival
Kresnayana, Festival Kesenian Pesisir Utara, Fesenian Kawasan Selatan dan
lain-lain.
TBJT juga aktif melakukan jejaring dengan Pemerintah
Kabupaten dan Kota dan Taman Budaya di seluruh Indonesia dalam kegiatan bersama
yang secara rutin dilakukan secara bergiliran di Taman Budaya-Taman Budaya
daerah.
Sampai tahun 2007, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2007 tetang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Peraturan Pemerintah Nomor
41Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang ditindaklanjuti dengan
Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Daerah Provinsi Jawa Timur serta Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 85 tahun
2008 tentang Uraian Tugas Sekretariat, Bidang, Sub Bagian dan Seksi Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur.
Disbudpar
Dinas P dan K Jawa Timur akhirnya tidak lagi mengurusi
Kebudayaan, sehingga namanya hanya menjadi Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Timur, sedangkan urusan kebudayaan berpindah ke Dinas Pariwisata Jawa Timur
dengan nama baru yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi
Jawa Timur.
Ternyata, TBJT masih bertahan berada dalam naungan Dinas
Pendidikan, namun karena Dinas ini tidak mengurusi kesenian umum maka TBJT
difokuskan hanya mengurusi kesenian sekolah, sehingga namanya menjadi UPT Pendidikan
dan Pengembangan Kesenian (Dikbangkes) Taman Budaya. Kondisi ini berlangsung
selama dua tahun sampai akhirnya lahirlah Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor
76 Tahun 2010 tentang perubahan Pergub Nomor 123 Tahun 2008. Berdasarkan Pergub
ini maka TBJT menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jawa Timur, dan kembali mengurusi kesenian umum
sebagaimana yang dilakukan sebelumnya.
Berdasarkan Pergub tersebut, maka Taman Budaya merupakan
Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang melaksanakan tugas teknis operasional seni dan
budaya. UPT Taman Budaya dipimpin Kepala UPT yang berada dibawah dan
bertanggungjawab kepada Kepala Dinas.
UPT Taman Budaya mempunyai tugas melaksanakan sebagian
tugas Dinas dalam pengembangan dan penyajian seni dan budaya, ketatausahaan dan
pelayanan masyarakat. Satu hal lagi, dengan adanya Pergub ini maka TBJT juga
bertugas mengelola Taman Krida Budaya (TKB) Jawa Timur yang berada di Malang
yang sebelumnya berada di bawah naungan Dinas Pendidikan.
Namun dalam perkembangannya terjadi perubahan atas
Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Timur Nomor 76 Tahun 2010 menjadi Pergub No 28
Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Jawa Timur.
Belum genap dua tahun terjadi perubahan lagi dengan
lahirnya Pergub Nomor 59 Tahun 2005. Dan ternyata, berselang satu tahun
kemudian, turun lagi Pergub No 112 Tahun 2016 tentang “Nomenklatur, Susunan
Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur.”
Perubahan penting dengan terbitnya Pergub yang baru ini,
TBJT tidak lagi menangani Pengembangan Kesenian karena diambil alih oleh UPT
baru yang disebut UPT Laboratorium, Pelatihan dan Pengembangan Kesenian (LPPK).
Karena itu tidak ada lagi kegiatan berupa Peningkatan
Profesionalisme Pembina dan Pekerja Seni, juga kegiatan berupa Peningkatan
Ketrampilan Seni dan Budaya bagi Masyarakat. Seksi Pengembangan Kesenian di
TBJT beralih nama menjadi Seksi Publikasi dan Dokumentasi, yang ruang
lingkupnya tidak hanya untuk TBJT saja melainkan melebar dalam urusan
kebudayaan di lingkungan Disbudpar Jatim. Sementara Seksi Penyajian Kesenian
masih tetap bertahan. (sumber: cakdurasim)
Berikan Komentar