Oleh Autar Abdillah
---- Manajemen Pemanggungan Ludruk sudah berlangsung
lama. Manajemen pemanggungan selama ini hanya menjadi tanggungjawab dari
pemimpin/juragan atau oleh seseorang yang dipercayakan, kemudian disebut
Sutradara.
Sutradara adalah pemimpin juga, tetapi peran-perannya sebagai pengatur pengadeganan dengan penguasaan terhadap cerita/lakon sangat tinggi, dan di masa depan semakin dibutuhkan. Karena, publik semakin memiliki banyak objek-objek visual yang tumbuh disekitarnya, terutama dari media sosial dan media internet.
dr Autra Abdillah
Pada masa awal keberadaan Ludruk ada tiga tipologi
manajemen pemanggungan. Pertama, Ludruk mengutamakan kesinambungan “perasaan”
publiknya dengan mengeksplorasi adegan-adegan yang mendorong terjadinya
interaksi tingkat tinggi, seperti saling berkomunikasi dan turut mendorong
emosi publik.
Pada tingkat ini, “orang miskin” bicara tentang kehidupan
sebagai “Orang Kaya” yang diimpikannya. Kedua, Nasionalisme yang menguat
mendorong Ludruk membawa isu-isu kebudayaan lokal.
Dengan demikian, Ludruk membawa narasi kesejarahan lokal
dan perjuangan rakyat dalam kerangka budayanya, yakni budaya Jawa Arek untuk
Ludruk.
Pada tingkat ini, perdebatan metode teater Barat dengan
keberadaan Akademi Teater nasional sedang berlangsung. Ketiga, bersandingan
dengan drama modern, maka Ludruk membawa genture masyarakat kota dan teknik
pemanggungan yang mendorong realisme Barat/Eropa.
Secara kualiatif, Ludruk memasuki wilayah teater modern
dengan teknik-teknik realisnya. Meskipun dalam penyebutannya berada dalam
kerangka teater tradisional. Teknik-teknik pemanggungan modern digunakan dalam
Ludruk.
Hampir tidak ada perbedaan antara teater tradisional
dengan teater modern. Pada tingkat ini pula Ludruk menjadi teater yang berjarak
sekaligus menyatu dengan penontonnya.
Lalu,
bagaimana saat ini? Apakah spontanitas Ludruk harus “diakhiri”? Apakah
manajemen pengadeganan/ pemanggungan suatu kebutuhan?
Kepercayaan
terhadap pentingnya nguribudoyo bagi
masyarakat (penanggap dan publik) masih cukup tinggi, setidaknya secara
keseluruhan masih 40% mempercayai Ludruk sebagai kebutuhan dalam menjaga dan
melestarikan kebudayaan (lokusnya 75% berada di pinggiran kota yang industrial,
dan di pedesaan yang agraris).
Dengan demikian,
manajemen pengadeganan yang berorientasi pada eksplorasi budayanya masih
penting dan tak bisa dilepaskan dari Ludruk sebagai teater tradisional maupun
teater rakyat. Selain nguri budoyo,
masyarakat memandang bahwa Ludruk merupakan pertunjukan transisional dari dunia
kebudayaannya ke dunia sehari-hari.
Dunia sehari-hari
adalah narasi global yang bersentuhan langsung dengan imajinasi kekinian.
Tantangan terbesarnya adalah pembangunan genture yang melewati masa sejarahnya.
Pembangunan Ludruk,
meminjam istilah Banet dan Schargorodsky (2018:22) tentang teater
berada “dalam model dan strategi artistik dan komersial yang berbeda”. Namun,
model dan strategi artistik sangat penting dalam menunjang model dan strategi
komersialnya. Lehner (2009:197) memandang bahwa “…pilihan penonton dan aktor
yang memenuhi kriteria artistik saja tidak cukup”.
Pada gambar
berikut, pembicaraan manajemen pemanggungan lebih pada sisi kanan atau sisi
publiknya, meskipun sisi kanan, yakni wilayah pasar Ludruk tak dapat
dipisahkan, seperti inovasi teknologi.
Pada faktor kondisi
yang mendasar, Ludruk berbeda dengan era Cak Durasim, karena perlawanan
terhadap penjajahan tidak bisa disetarakan dengan perlawanan terhadap
pemerintah.
Budaya politik yang
dibangunnya bukan pula seperti era Orde baru yang semata-mata menerima begitu
saja kenyataan sosial maupun politik masyarakat.
Pada Dinas Kominfo
terdapat program pertunjukan rakyat yang memang bertujuan untuk memberikan
pemahaman pada masyarakat tentang pembangunan dan memberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk melakukan kritik yang sejalan dengan kebutuhan
pembangunan.
Pada tingkat
struktur pertunjukan, cultural action menjadi
penting dalam membangun struktur. Dalam beberapa pertunjukan Ludruk, terkadang
terjebak pada aspek yang membuat Ludruk tidak terkoneksi secara kultural.
Masuknya budaya
baru bukan berarti Ludruk melepaskan budaya pembentuknya, yaitu budaya Jawa
Arek. Untuk itu, strategi dalam membangunnya adalah tetap memnempatkan khazanah
Ludruk pada porsinya yang membawa “irama dan warna” Ludruk pada irama dan warna
kebudayaannya. Meskipun terdapat instrumentasi yang bersifat extra performance,
namun tetap menjadi bagian dalam kehidupan budaya Ludruk.
Untuk itu, seperti
diungkapkan Banet dan Schargorodsky, empat aspek penting yang tak bisa
dipisahkan adalah pengakuan sosial dan politik (terhadap budaya dalam
Ludruk), persembahan maupun perujudan budaya lokal, partisipasi dan konsumsi
budaya yang tumbuh disekitarya, dan penganekaragam yang memberikan benefit pada
kehidupan budaya, misalnya menjadikan hibriditas budaya sebagai penguatan dalam
Ludruk, bukan sebagai ancaman maupun perusak bagi keberlangsungan Ludruk.
Selain penggambaran
faktor penerapan model pertunjukan, Banet dan Schargorodsky juga menggambarkan
sistem seni pertunjukan dalam manajemen pemanggungan.
Dalam gambar di
bawah ini, pada bagian paling bawah dapat dijelaskan bahwa diperlukan pelatihan
yang profesional agar memunculkan seniman-seniman yang memiliki kemampuan
secara teknis. Kemampuan secara teknis diperlukan karena Ludruk memiliki kekhasan
yang tak bisa dipisahkan dengan karakteristik pertunjukannya, seperti Remo,
Jula Juli maupun tampilan Bedayan dan lakon. Di samping itu, juga diperlukan
sistem pendidikan yang dapat memberikan pemahaman maupun kemampuan menyaksikan
pertunjukan Ludruk terhadap para penonton.
Penonton atau
publik juga memerlukan kapasitas memahami karakter Ludruk. Publik, khususnya
penanggap memiliki kesadaran juga terhadap pentingnya Ludruk dalam kehidupan
bersamanya secara kultural dan sosial.
Pada bagian berikut
(gambar 3-4) terdapat skema yang lebih spesifik untuk manajemen pertunjukan
secara menyeluruh yang didalamnya terdapat manajemen pemanggungan. Unsur-unsur
yang terlibat dalam suatu pertunjukan.
Unsur-unsur yang
sangat kompleks ini dapat diringkas menjadi Tim Kreatif Produksi dalam
manajemen pemanggungan, yakni Sutradara, Desainer untuk tata artistik,
koreografer dan penata Karawitan atau untuk lebih lengkap dapat mencakup
Director, Stage Manager, Scenic Designer, Costume Designer, Light Designer,
Sound Designers, Technical Director, Props Master, Production Manager, dan
Music Director.
Tim kreatif adalah
orang-orang yang melakukan seluruh aktivitas pemanggungan agar memiliki
struktur yang jelas dan tujuan yang dapat dijalankan bersama.
Tim Kreatif membuka
berbagai kemungkinan dan perspektif pertunjukan yang dibutuhkan sesuai dengan
tempat pertunjukan, keinginan penanggapnya, dan situasi yang aktual dan
berkembang saat pertunjukan dilangsungkan.
Panggung adalah
suatu ruang yang memiliki daya magisnya. Panggung memiliki pancaran yang dapat
membuat seorang pemain maupun peralatan yang diletakkan diatasnya menjadi hidup
maupun mati. Tidak semua manusia yang hidup, jika berdiri diatas panggung tetap
menjadi hidup.
Dia dapat mematikan
seluruh keadaan maupun keberadaan panggung. Di sinilah peran tim kreatif. Tim
Kreatif memiliki penjadwalan yang dapat mengatur seluruh komponen pertunjukan.
Secara sederhana, tim kreatif bekerja setiap saat. Tidak hanya pada saat
sebelum pertunjukan, tetapi juga paska pertunjukan, tim kreatif memberikan
evaluasi kepada seluruh pelaku pertunjukan.
Tim kreatif adalah
penjaga marwah pertunjukan. Selama ini, tim kreatif hampir tidak mendapat
tempat pada pertunjukan Ludruk karena pertunjukan dianggap sebagai suatu
kebiasaan dan rutinitas yang telah menjadi suatu yang biasa.
Banyak pelaku
Ludruk tidak melakukan kajian ulang pada pertunjukan yang baru saja berlangsung
maupun persiapan yang akan dilakukannya. Namun, masih ada beberapa kelompok
Ludruk yang sudah menyiapkan tim kreatif yang menunjang pasar Ludruk di masa
depan.
Manajemen
pemanggungan Ludruk adalah pemenuhan keseluruhan dari kebutuhan pertunjukan
Ludruk yang berdampak secara ekonomi, teknik maupun kultural. Manajemen
pemanggungan adalah pemenuhan hasrat kebutuhan masyarakat maupun penanggap
Ludruk untuk mendapatkan pertunjukan yang berkualitas.
Untuk itu, semua
seniman Ludruk memiliki kewajiban dalam meningkatkan kemampuannya. Tidak ada
lagi pernyataan “iku ora urusanku”. Karena, ketika
Ludruk ditampilkan, semua pelaku Ludruk memiliki tanggungjawab yang sama. Masa
depan Ludruk terletak pada semua seniman Ludruk.
Daftar Pustaka
Bonet., Lluis and
Hector Schargorodsky,
2018, Theatre Management: Models and Strategies for Cultural Venues,
Kuunskapverket: Ervelum Norway.
Jenny Nichols, tt, Stage Management Workshop,
UIL Staff jnichols@uiltexas.org.
Lehner., Johannes M, 2009, “The staging model: The contribution of
classical theatre directorsto project management in development
contexts”, International Journal of Project Management 27
(2009) 195–205.
Russel., Bryan, 2013, “Stage Managers Don’t Make Coffee
Anymore”, Thesis di Texas State
University-San Marcos.
Sanders., Tal, 2018, An Introduction of Technical
Theatre, Oregon AS: Talatin Books.
-Makalah di
sampaikan dalam “Sarasehan Seniman Ludruk” di Taman Budaya Jawa Timur, 24
September 2019
-Dr. Autar
Abdillah, S.Sn., M.Si, Dosen Drama pada Jurusan SENDRATASIK FBS UNESA, menulis Disertasi
tentang “Diskursus Budaya Jawa Arek dan Jawa Mataram dalam Ludruk Karya Budaya
Mojokerto”.
(sumber: Cakdursaim)
Berikan Komentar